Apa Itu Personal Health Record (PHR)?
Personal Health Record (PHR) adalah ringkasan data kesehatan dalam bentuk elektronik yang dikelola langsung oleh pasien sendiri, bukan oleh penyedia layanan kesehatan. Informasi dalam PHR bisa berasal dari data yang diinput sendiri oleh pasien (self-reported), dari penyedia layanan kesehatan, atau gabungan keduanya. Formatnya memang tidak selalu standar, tapi biasanya berisi info seperti:
- Riwayat kunjungan rawat jalan, rawat inap, dan IGD.
- Daftar alergi yang diketahui.
- Riwayat medis keluarga.
- Catatan imunisasi.
- Penyakit yang sedang atau pernah diderita.
- Obat resep dan obat bebas yang sedang atau pernah dikonsumsi.
- Prosedur atau operasi yang pernah dijalani.
Perkembangan Personal Health Records
PHR sudah ada sejak tahun 1990-an, tapi baru berkembang pesat setelah teknologi pendukungnya mulai matang lebih dari satu dekade kemudian.
Tahun 2007, perusahaan seperti Microsoft dan Google mulai menawarkan produk PHR, meskipun saat ini sudah tidak tersedia lagi. Dossia, platform PHR berbasis web, diluncurkan tahun 2008 oleh konsorsium perusahaan termasuk Walmart dan AT&T.
Beberapa tahun terakhir, teknologi baru dan situasi pandemi COVID-19 telah mempercepat transformasi PHR secara drastis.
Kemajuan dalam bidang kecerdasan buatan (AI) dan machine learning memungkinkan penggunaan analitik prediktif yang canggih untuk memantau kesehatan secara lebih akurat dan personal.
Selain itu, blockchain juga dimanfaatkan untuk meningkatkan keamanan data PHR berkat enkripsi kuat dan sistem yang terdesentralisasi.
Pandemi COVID-19 pun jadi momen penting: integrasi data vaksinasi ke dalam PHR jadi umum, dan layanan telehealth serta pemantauan pasien jarak jauh ikut terintegrasi, demi tetap memberikan perawatan selama pembatasan fisik berlangsung.
Gabungan antara teknologi dan krisis global ini membuat PHR jadi semakin penting dalam dunia kesehatan modern.
Ke depannya, PHR diprediksi akan terintegrasi dengan data genomik, perangkat wearable, dan pendekatan personalisasi dalam pengobatan.
Dampak GDPR terhadap PHR
Regulasi General Data Protection Regulation (GDPR) dari Uni Eropa yang berlaku sejak Mei 2018 sangat memengaruhi cara data kesehatan pribadi, termasuk PHR, dikelola dan dilindungi.
GDPR menetapkan aturan ketat soal perlindungan data dan privasi. Semua penyedia PHR di UE atau yang menangani data warga UE harus menjaga standar keamanan yang tinggi untuk mencegah kebocoran data.
Pengguna harus memberikan persetujuan eksplisit sebelum datanya dikumpulkan atau diproses, dan penyedia PHR harus transparan tentang bagaimana data digunakan, siapa yang bisa mengaksesnya, dan untuk tujuan apa.
GDPR juga mendorong prinsip data minimization, yaitu hanya data yang benar-benar dibutuhkan saja yang boleh dikumpulkan. Selain itu, penyedia PHR wajib bisa membuktikan kepatuhan terhadap aturan, seperti mencatat aktivitas data, melakukan penilaian dampak perlindungan data, dan menunjuk Data Protection Officer jika diperlukan.
Standalone vs Tethered PHR
Ada dua jenis utama PHR: Standalone dan Tethered.
Standalone PHR dikelola sepenuhnya oleh pasien. Pasien input sendiri datanya dan menentukan siapa yang boleh mengakses. Beberapa juga bisa terhubung ke sumber data eksternal.
Tethered PHR terhubung ke sistem Electronic Health Record (EHR) dari suatu institusi kesehatan dan diakses via portal aman. Masih ada perdebatan apakah jenis ini benar-benar bisa disebut PHR, karena kontrolnya tetap ada di institusi.
PHR vs EHR
Meskipun isinya mirip, PHR dan EHR itu beda. EHR adalah catatan medis digital yang dibuat dan dikelola oleh tenaga medis, biasanya untuk digunakan antar penyedia layanan.
Di sisi lain, platform EHR sepenuhnya dikontrol oleh penyedia layanan kesehatan, sedangkan PHR dikendalikan oleh pasien itu sendiri.
Manfaat Personal Health Record
Beberapa manfaat utama dari penggunaan PHR bagi pasien dan tenaga medis antara lain:
- Pasien lebih terlibat. Pasien bisa memantau kondisi kesehatannya sendiri, bahkan di luar kunjungan dokter. Mereka juga bisa mencatat kejadian penting yang biasanya tidak terekam di rumah sakit.
- Akses informasi lebih mudah. Saat pasien butuh perawatan di luar fasilitas biasa (misalnya saat traveling), PHR bisa bantu memberikan info medis yang up-to-date.
- Koordinasi perawatan lebih baik. PHR mempermudah integrasi data dari berbagai penyedia layanan dan bisa meningkatkan koordinasi antar tim medis.
- Biaya administrasi berkurang. Staf administrasi jadi lebih cepat mendapatkan data pasien yang diperlukan tanpa harus minta manual.
- Komunikasi lebih lancar. PHR memungkinkan komunikasi langsung dan aman antara pasien dan tenaga medis.
- Manajemen kesehatan keluarga. PHR juga bisa dipakai oleh caregiver atau anggota keluarga untuk membantu mengelola kesehatan pasien.
Hambatan dalam Penerapan PHR
Walaupun menjanjikan, masih ada beberapa tantangan dalam penerapan PHR:
- Akurasi data. Kalau data diinput langsung oleh pasien, ada kemungkinan terjadi kesalahan. Pengguna perlu dibimbing agar tahu cara baca resep atau hasil lab dengan benar.
- Privasi dan keamanan. PHR standalone tidak selalu dilindungi oleh aturan HIPAA, kecuali yang terhubung ke sistem EHR resmi. Untuk itu, sejak 2009, regulasi mulai mewajibkan vendor PHR melaporkan insiden kebocoran data ke pemerintah dan individu yang terdampak.
- Kesenjangan adopsi. Digital divide masih jadi kendala. Mereka yang kurang familiar dengan teknologi atau kurang paham soal kesehatan cenderung enggan pakai PHR.
Software Personal Health Record
Pasar PHR terus berubah—beberapa vendor merger, ada juga yang keluar dari pasar. Tapi masih banyak software populer yang tersedia sampai sekarang.
Beberapa yang umum digunakan antara lain: Apple Health, WebMD Personal Health Record, HealtheLife dari Oracle Cerner, dan MyChart dari Epic.