Apa itu falsifiabilitas?

Falsifiabilitas adalah kemampuan suatu proposisi, pernyataan, teori, atau hipotesis untuk dibuktikan salah. Konsep ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1935 oleh filsuf sekaligus ilmuwan asal Austria, Karl Popper (1902–1994). Sejak saat itu, komunitas ilmiah menganggap falsifiabilitas sebagai salah satu prinsip fundamental dalam metode ilmiah, bersama atribut penting lain seperti replikabilitas dan keterujian.

Menurut prinsip falsifiabilitas, sebuah hipotesis ilmiah hanya dianggap kredibel jika secara bawaan memang bisa diuji dan berpotensi terbukti salah. Ini tidak berarti hipotesis tersebut pasti keliru, hanya saja harus ada kemungkinan hipotesis tersebut dapat dipatahkan di waktu atau kondisi tertentu.

Contohnya, kita bisa saja membuat hipotesis bahwa ada makhluk ilahi bersisik hijau, berambut ungu, bergigi warna oker, dan hobi menyenandungkan lagu-lagu musikal, yang mengatur alam semesta dari dimensi lain. Walaupun jutaan orang percaya padanya, tidak ada cara praktis untuk membuktikan salah hipotesis ini — artinya ia tidak falsifiabel. Maka, menurut aturan falsifiabilitas, ini tidak bisa dianggap sebagai pernyataan ilmiah.

Di sisi lain, teori relativitas Einstein dianggap sebagai sains yang valid karena berpotensi terbukti salah melalui eksperimen dan pengujian ilmiah, terutama seiring berkembangnya teknologi dan metode penelitian. Faktanya, teori Einstein sudah diketahui bertentangan dengan prinsip dasar mekanika kuantum, mirip dengan bagaimana teori gravitasi Newton tidak mampu menjelaskan orbit Merkurius sepenuhnya.

Implikasi lain dari falsifiabilitas adalah kita tidak boleh langsung menarik kesimpulan hanya dari observasi terbatas atas suatu fenomena. Hipotesis “angsa putih” adalah contoh klasiknya: selama berabad-abad orang Eropa hanya melihat angsa berwarna putih, lalu menyimpulkan semua angsa pasti putih. Hipotesis ini falsifiabel karena cukup menemukan satu angsa yang tidak putih untuk mematahkannya — dan itulah yang terjadi saat penjelajah Belanda menemukan angsa hitam di Australia pada akhir abad ke-17.

Falsifiabilitas sering dikaitkan dengan konsep hipotesis nol dalam pengujian hipotesis. Hipotesis nol adalah kebalikan dari hipotesis alternatif, yang menjadi dasar falsifiabilitas. Misalnya, hipotesis alternatif menyatakan bahwa jam kerja lebih sedikit akan menurunkan produktivitas karyawan. Hipotesis nolnya bisa menyatakan bahwa jam kerja lebih sedikit justru meningkatkan produktivitas, atau bahwa tidak ada perubahan produktivitas sama sekali ketika jam kerja berkurang.

Pandangan Popper tentang falsifiabilitas

Karl Popper memperkenalkan konsep falsifiabilitas dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery (pertama kali terbit dalam bahasa Jerman tahun 1935 dengan judul Logik der Forschung). Buku ini membahas masalah demarkasi, yaitu tantangan membedakan antara sains dan pseudoscience. Popper berpendapat bahwa hanya teori yang falsifiabel yang bisa dianggap ilmiah. Sebaliknya, bidang seperti astrologi, Marxisme, atau bahkan psikoanalisis hanyalah pseudoscience.

Pemikiran Popper tentang falsifiabilitas dan pseudoscience memberi pengaruh besar terhadap definisi sains yang kita kenal sekarang. Meski begitu, tidak semua ilmuwan setuju penuh dengan peran falsifiabilitas dalam sains karena keterbatasan dalam menguji hipotesis. Pengujian sering kali membawa asumsi tertentu dan tidak bisa mempertimbangkan semua faktor yang memengaruhi hasil, sehingga validitas pengujian bisa sama dipertanyakan seperti hipotesis awalnya.

Selain itu, beberapa hipotesis seperti teori string atau teori multisemesta mungkin hampir mustahil diuji secara tuntas sesuai visi Popper. Muncul juga pertanyaan apakah falsifiabilitas benar-benar relevan dengan penemuan ilmiah, atau bahkan apakah teori falsifikasi itu sendiri falsifiabel.

Tentu banyak peneliti yang akan berargumen bahwa cabang ilmu sosial atau psikologi mereka punya kriteria valid sendiri yang sama kuatnya dengan yang dikemukakan Popper. Meski begitu, peran penting falsifiabilitas dalam model sains tidak bisa dipungkiri. Namun, pembagian hitam-putih Popper antara sains dan pseudoscience mungkin perlu diperluas menjadi pandangan yang lebih fleksibel tentang apa yang kita anggap sebagai sains.

Lihat juga: analisis empiris, pembelajaran tervalidasi, OODA loop, peristiwa angsa hitam, deep learning.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *