Apa Itu Transactional Leadership?

Transactional leadership, atau dikenal juga sebagai managerial leadership, adalah gaya kepemimpinan yang mengandalkan sistem reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) untuk mendorong kinerja optimal dari bawahan.

Model executive leadership transactional ini dasarnya adalah pertukaran atau transaksi. Jadi, pemimpin akan memberi penghargaan ke anggota tim yang berhasil mencapai target, dan memberikan hukuman kalau hasilnya nggak sesuai standar.

Hubungan antara pemimpin dan bawahannya dalam gaya ini berdasarkan asumsi bahwa orang pada dasarnya nggak akan termotivasi dengan sendirinya. Mereka butuh struktur, instruksi, dan pengawasan untuk bisa kerja efektif. Teori ini juga menyatakan bahwa orang akan bekerja sesuai yang diharapkan asalkan mereka mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti gaji atau tunjangan.

Tiga pendekatan utama dalam transactional leadership, yaitu:

  • Contingency. Menggunakan reinforcement theory dan motivasi eksternal. Karyawan bakal dapet insentif atau hadiah kalau mereka berhasil capai target.
  • Active management by exception. Pemimpin aktif memantau dan siap ambil tindakan saat ada masalah. Sistem ini menggunakan employee monitoring untuk deteksi dini.
  • Passive management by exception. Di sini, pemimpin cenderung diam dan baru turun tangan kalau performa karyawan melenceng jauh dari ekspektasi.

Ketiga pendekatan ini bisa dipakai barengan tergantung kondisi tim dan organisasi.

Ciri-Ciri Transactional Leadership

Transactional leadership mengasumsikan bahwa ada struktur hierarki antara atasan dan bawahan, dan bawahan biasanya punya karakteristik seperti:

  • nggak termotivasi dari diri sendiri,
  • termotivasi karena imbalan atau takut hukuman,
  • mengikuti tujuan yang jelas,
  • dan butuh pengawasan ketat.

Gaya kepemimpinan ini paling cocok diterapkan di lingkungan kerja yang sangat terstruktur, dengan sedikit perubahan dari business process yang udah ada dan tugas-tugas yang sudah jelas.

Menurut teori transactional leadership, pemimpin ini bekerja dalam struktur organisasi yang sudah ada, fokus pada hasil spesifik yang bisa diukur. Tujuan yang dimaksud kadang dikenal sebagai SMART goals (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Time-bound).

Penilaian kinerja dilakukan berdasarkan pencapaian hasil yang telah ditentukan. Pemimpin transactional biasanya mendorong bawahan dengan pendekatan yang bersifat self-interest untuk tetap produktif.

Secara umum, pemimpin transactional itu:

  • langsung dan to the point,
  • kurang terbuka terhadap perubahan,
  • praktis,
  • dan reaktif.

Implementasi transactional leadership biasanya:

  • mengutamakan kepatuhan terhadap aturan,
  • fokus pada efisiensi,
  • lebih memilih struktur daripada fleksibilitas,
  • berorientasi pada tujuan jangka pendek,
  • minim koneksi personal,
  • dan pakai sistem reward dan punishment.

Sejarah Singkat Transactional Leadership

Beberapa tokoh penting dalam pengembangan teori kepemimpinan ini antara lain:

  • Max Weber. Sosiolog asal Jerman ini memperkenalkan konsep gaya kepemimpinan dalam bukunya *The Theory of Social and Economic Organization* (1947), termasuk teori transactional leadership.
  • James MacGregor Burns. Dalam bukunya *Leadership* (1978), Burns membedakan antara transactional dan transformational leadership, yang menurutnya saling bertolak belakang.
  • Bernard M. Bass. Mengembangkan teori Burns dan Weber di tahun 1980-an. Ia menjelaskan bagaimana kedua gaya kepemimpinan tersebut bisa diukur dan bahwa keduanya bisa dipakai secara bersamaan dalam konteks tertentu.

Transactional leadership sempat dominan di AS pasca Perang Dunia II. Tapi sekarang, banyak perusahaan modern lebih suka gaya kepemimpinan lain seperti transformational leadership, meskipun transactional leadership masih dipakai di organisasi seperti militer atau perusahaan besar yang penuh aturan.

Transactional vs. Transformational Leadership

Dua gaya kepemimpinan ini sering dianggap berseberangan dan nggak cocok digabung. Bedanya ada di pendekatan dan keterampilan yang dipakai oleh masing-masing pemimpin.

Pemimpin Transactional

Gaya ini disebut gaya manajemen *telling*, karena pemimpin ngasih instruksi langsung. Fokus utamanya adalah mencapai tujuan jangka pendek dan memastikan semua pekerjaan dilakukan sesuai standar. Nggak cocok buat lingkungan kerja yang butuh kreativitas seperti startup atau perusahaan teknologi yang cepat berubah.

Namun, gaya ini cocok banget buat organisasi dengan struktur yang ketat dan sistem kerja linear seperti model waterfall.

Pemimpin Transformational

Gaya ini dikenal sebagai gaya manajemen *selling*. Pemimpin akan menjual visi dan misinya ke tim dan memotivasi mereka lewat inspirasi. Lebih banyak koneksi personal, pendekatannya juga karismatik dan cenderung hands-off. Cocok banget buat proyek yang pakai Agile atau DevOps.

Servant Leaders

Berbeda lagi dengan servant leadership, yang fokus utamanya adalah melayani orang lain—termasuk anggota tim—daripada hanya sekadar menjalankan aturan atau struktur kerja.

Kelebihan dan Kekurangan Transactional Leadership

Kelebihan

  • Efisien. Cocok buat mencapai target jangka pendek secara cepat.
  • Konsisten. Bisa menghasilkan hasil kerja yang stabil lewat prosedur yang jelas dan protocol yang udah diuji.
  • Jelas. Struktur komando dan tanggung jawab tim jelas, jadi proses troubleshooting dan crisis management jadi lebih gampang.
  • Stabil. Ideal untuk pekerjaan yang sifatnya repetitif dan lingkungan kerja yang penuh tekanan.

Kekurangan

  • Kaku. Fokus utama adalah mempertahankan status quo, bukan berinovasi.
  • Kurang inovatif. Nggak mendukung kreativitas karena terlalu terpaku pada prosedur lama.
  • Bikin demotivasi. Karyawan kurang diberi ruang untuk inisiatif pribadi.
  • Kurang fleksibel. Pendekatan yang terlalu template bisa bikin kesalahan berulang dan jadi tidak efisien.
  • Hanya jangka pendek. Sulit mengejar visi besar atau tujuan jangka panjang, terutama saat bersaing dengan kompetitor yang lebih visioner.

Contoh Penerapan Transactional Leadership

Transactional leadership cocok banget di bidang-bidang yang butuh struktur dan pengawasan tinggi. Misalnya:

  • Saat perusahaan kena data breach, gaya ini cocok buat cepat mengeksekusi disaster recovery plan.
  • Dalam militer, semua orang harus ikuti instruksi dengan presisi tinggi karena kesalahan bisa mengancam nyawa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *