Clinical trial atau uji klinis adalah protokol riset medis yang bertujuan untuk mengevaluasi efek dan efektivitas dari perawatan medis eksperimental atau intervensi perilaku terhadap hasil kesehatan. Studi ini melibatkan pengumpulan data dari relawan manusia dan biasanya didanai oleh institusi medis, universitas, organisasi nonprofit, perusahaan farmasi, atau lembaga pemerintah.

Skenario umum dalam clinical trial adalah pasien yang sudah menderita penyakit tertentu setuju untuk menjalani pengobatan eksperimental dengan harapan bahwa obat atau alat medis baru tersebut bisa memperbaiki kondisinya.

Tujuan utama clinical trial adalah untuk memastikan apakah suatu perawatan, tes, atau perangkat medis baru itu efektif dan aman. Clinical trial ini juga membantu menentukan pendekatan medis mana yang paling tepat untuk mengatasi penyakit serius seperti kanker, diabetes, penyakit jantung koroner, HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya. Perawatan yang diuji bisa berupa obat, perangkat medis, vaksin, produk darah, atau terapi gen.

Kenapa Clinical Trial Itu Penting

Clinical trial sangat penting buat pengembangan riset medis, baik dari sisi kegunaan maupun keamanan. Studi ini mengajarkan para peneliti tentang metode baru untuk mendeteksi, mendiagnosis, dan mengobati penyakit, sekaligus apa yang efektif dan apa yang tidak.

Clinical research bisa menentukan apakah obat yang diuji punya efek yang diinginkan, bagaimana cara obat itu diproses dalam tubuh, dosis yang tepat, serta frekuensi pemberiannya. Selain itu, studi ini juga mengevaluasi efek samping yang mungkin muncul, bagaimana mengelolanya, interaksi obat dengan makanan, minuman, atau obat lain, dan cara menghindari efek negatif tersebut.

Regulasi Clinical Trial

Regulasi uji klinik di Indonesia terutama diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM memiliki peran sentral dalam menyetujui dan mengawasi pelaksanaan uji klinik untuk obat, produk biologi, obat tradisional, suplemen kesehatan, pangan olahan, dan kosmetik di Indonesia.

Badan Regulasi Utama:

  • BPOM: Bertanggung jawab untuk mengawasi dan memberikan persetujuan uji klinik untuk berbagai jenis produk kesehatan di Indonesia.

Regulasi Utama:

  • Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2024: Peraturan terbaru ini mengatur tentang tata cara persetujuan uji klinik, menggantikan Peraturan BPOM Nomor 21 Tahun 2015. Peraturan ini memperjelas persyaratan untuk berbagai jenis produk dan mencakup pedoman tentang Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) untuk kosmetik. Uji klinik yang sedang berjalan pada tanggal 21 Mei 2024 diberikan waktu enam bulan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan ini.
  • Peraturan BPOM Nomor 21 Tahun 2015: Meskipun telah digantikan oleh Peraturan Nomor 8 Tahun 2024, peraturan ini memberikan dasar informasi mengenai prosedur persetujuan uji klinik.
  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 16 Tahun 2015: Mengatur tata laksana dan penilaian obat baru, termasuk program uji klinik sebagai bukti keamanan dan khasiat.
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2017: Menetapkan persyaratan untuk uji klinik alat kesehatan dan alat diagnostik in vitro.
  • Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB): Ini adalah istilah Indonesia untuk Good Clinical Practice (GCP), dan kepatuhan terhadap CUKB adalah wajib untuk semua uji klinik di Indonesia. Indonesia telah mengadopsi pedoman ICH-GCP E6.

Fitur Utama Regulasi Uji Klinik di Indonesia:

  • Persetujuan BPOM: Uji klinik pra-pemasaran umumnya memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari BPOM. Persetujuan ini memiliki masa berlaku tertentu dan perpanjangan harus diajukan jika diperlukan.
  • Persyaratan Produk: Produk uji harus memiliki data keamanan awal dan memenuhi standar kualitas yang relevan.
  • Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent): Mendapatkan persetujuan setelah penjelasan yang lengkap dari calon peserta uji klinik adalah wajib.
  • Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB/GCP): Semua uji klinik harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip CUKB. BPOM melakukan inspeksi ke lokasi uji klinik untuk memastikan kepatuhan terhadap CUKB.
  • Cakupan Regulasi: Regulasi BPOM terutama mencakup uji klinik untuk obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, pangan olahan, dan kosmetik. Alat kesehatan memiliki regulasi terpisah di bawah Kementerian Kesehatan.
  • Pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD): Reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) dan kejadian tidak serius maupun serius harus dilaporkan kepada pihak berwenang.
  • Tanggung Jawab Sponsor: Sponsor bertanggung jawab untuk mengajukan permohonan persetujuan, meminta perpanjangan, memastikan kepatuhan terhadap CUKB, dan melaporkan kejadian tidak diinginkan.
  • Persetujuan Komite Etik: Persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan diperlukan. Indonesia memiliki banyak komite etik, beberapa di antaranya memiliki pengakuan internasional (FERCAP). Komite Etik juga mengevaluasi aspek ilmiah dari protokol uji klinik.
  • Registrasi Uji Klinik: Semua uji klinik harus didaftarkan ke Kementerian Kesehatan. Indonesia Clinical Research Registry (INA-CRR) berfungsi untuk tujuan ini, mempromosikan transparansi dan akuntabilitas.
  • Perjanjian Transfer Material (Material Transfer Agreement/MTA): Indonesia menyediakan MTA untuk memfasilitasi pengiriman sampel ke luar negeri untuk analisis yang tidak dapat dilakukan di dalam negeri.

Fase-Fase Clinical Trial dan Definisinya

Tentu, berikut adalah fase-fase uji klinik dan definisinya yang berlaku di Indonesia, sesuai dengan standar internasional yang juga diadopsi oleh BPOM:

Uji klinik umumnya dibagi menjadi empat fase utama, dan terkadang ada fase 0 sebelum fase 1. Berikut penjelasannya:

Fase 0: Studi Pra-Eksplorasi atau Mikro-Dosing (Tidak selalu ada)

  • Definisi: Fase ini melibatkan pemberian dosis obat yang sangat rendah kepada sejumlah kecil sukarelawan (biasanya 10-15 orang). Dosisnya jauh di bawah dosis terapeutik yang diharapkan.
  • Tujuan: Untuk mendapatkan data awal tentang bagaimana obat tersebut diproses dalam tubuh manusia (farmakokinetik) dan bagaimana pengaruhnya pada tubuh (farmakodinamik) pada tingkat yang sangat rendah. Fase ini membantu dalam memilih kandidat obat yang paling menjanjikan untuk pengembangan lebih lanjut.
  • Catatan di Indonesia: Fase 0 mungkin tidak selalu menjadi persyaratan wajib dan lebih sering dilakukan untuk obat-obatan yang sangat inovatif atau berisiko tinggi.

Fase I: Uji Keamanan dan Tolerabilitas

  • Definisi: Fase ini adalah pengujian pertama suatu obat baru pada manusia. Biasanya melibatkan sejumlah kecil sukarelawan sehat (20-100 orang). Namun, pada beberapa kasus, pasien dengan penyakit yang ditargetkan juga dapat dilibatkan, terutama jika obat tersebut memiliki potensi toksisitas yang tinggi.
  • Tujuan:
    • Mengevaluasi keamanan dan tolerabilitas obat.
    • Menentukan dosis aman maksimum yang dapat ditoleransi.
    • Mempelajari bagaimana obat diserap, didistribusikan, dimetabolisme, dan diekskresikan oleh tubuh (farmakokinetik).
    • Mengidentifikasi efek samping yang mungkin terjadi.
  • Pelaksanaan di Indonesia: Uji Fase I harus dilakukan di fasilitas kesehatan dengan pengawasan medis yang ketat dan dilengkapi untuk menangani kemungkinan efek samping.

Fase II: Uji Efikasi Awal dan Penentuan Dosis

  • Definisi: Fase ini melibatkan kelompok pasien yang lebih besar (100-300 orang) yang memiliki penyakit atau kondisi yang menjadi target pengobatan.
  • Tujuan:
    • Mengevaluasi efikasi (kemanjuran) obat dalam mengobati penyakit atau kondisi yang ditargetkan.
    • Menentukan dosis yang paling efektif dan aman untuk uji coba lebih lanjut.
    • Melanjutkan penilaian keamanan dan mengidentifikasi efek samping jangka pendek.
  • Pelaksanaan di Indonesia: Uji Fase II seringkali bersifat randomized (peserta dialokasikan secara acak ke kelompok pengobatan atau plasebo) dan controlled (dibandingkan dengan plasebo atau pengobatan standar).

Fase III: Uji Efikasi dan Keamanan Skala Besar

  • Definisi: Fase ini melibatkan jumlah pasien yang jauh lebih besar (beberapa ratus hingga ribuan) di berbagai lokasi dan seringkali melibatkan banyak peneliti.
  • Tujuan:
    • Mengkonfirmasi efikasi obat pada populasi pasien yang lebih luas.
    • Membandingkan obat baru dengan pengobatan standar yang ada atau dengan plasebo.
    • Memantau keamanan obat pada penggunaan jangka panjang dan mengidentifikasi efek samping yang mungkin jarang terjadi.
    • Mengumpulkan data yang cukup untuk mendukung permohonan izin pemasaran obat.
  • Pelaksanaan di Indonesia: Uji Fase III merupakan tahapan penting sebelum obat dapat disetujui untuk digunakan secara umum. Uji ini harus dirancang dengan baik dan mengikuti pedoman CUKB (Cara Uji Klinik yang Baik) yang ketat.

Fase IV: Studi Pasca Pemasaran (Farmakovigilans)

  • Definisi: Fase ini dilakukan setelah obat dipasarkan dan tersedia untuk digunakan oleh masyarakat luas.
  • Tujuan:
    • Memantau keamanan dan efektivitas obat dalam penggunaan sehari-hari pada populasi yang lebih besar dan beragam.
    • Mengidentifikasi efek samping yang jarang terjadi atau baru muncul setelah penggunaan jangka panjang.
    • Mempelajari penggunaan obat dalam sub-populasi tertentu (misalnya, anak-anak, lansia, pasien dengan kondisi medis lain).
    • Mengevaluasi strategi dosis atau penggunaan yang berbeda.
  • Pelaksanaan di Indonesia: BPOM terus memantau keamanan obat yang telah dipasarkan melalui sistem farmakovigilans. Studi Fase IV dapat berupa studi observasional, survei, atau uji klinik tambahan.

Persetujuan Regulasi di Indonesia:

Setiap fase uji klinik di Indonesia memerlukan persetujuan etik dan pemberitahuan atau persetujuan dari BPOM, terutama untuk uji klinik pra-pemasaran (Fase I, II, dan III). Persyaratan dan proses persetujuan diatur dalam peraturan BPOM yang berlaku.

Perbedaan Clinical Trial dan Clinical Study

Clinical study adalah riset medis yang bertujuan memperoleh pengetahuan baru. Ada dua tipe utama: observational dan interventional. Clinical trial adalah bentuk dari interventional study.

Dalam interventional study, peserta dibagi ke dalam grup dan menerima satu atau lebih intervensi (terapi), placebo, atau tidak ada intervensi sama sekali. Semua perlakuan diberikan sesuai protokol penelitian yang sudah disusun sebelumnya.

Intervensi ini bisa berupa obat, agen terapeutik, agen diagnostik, perangkat medis, prosedur, vaksin, hingga pendekatan non-invasif seperti perubahan pola makan dan olahraga.

Contoh umum dari interventional study adalah randomized control trial (RCT), di mana peserta secara acak dibagi ke grup eksperimen (menerima intervensi) dan grup kontrol (menerima standar perawatan, placebo, atau tanpa perlakuan) untuk membandingkan hasilnya secara kuantitatif.

Dalam observational study, walaupun peserta bisa saja mendapatkan intervensi, peneliti tidak mengaturnya secara langsung. Studi ini lebih fokus pada observasi hubungan sebab-akibat tanpa campur tangan dalam variabel.

Menghilangkan Bias dalam Clinical Trial

Clinical trial dirancang buat menjawab pertanyaan riset tertentu, dan kadang topiknya bisa tumpang tindih. Misal, universitas meneliti bagaimana mendeteksi suatu penyakit, sedangkan lembaga pemerintah fokus mencegah penyakit tersebut. Sementara perusahaan farmasi fokus pada cara mengobatinya.

Banyak strategi dipakai buat menghilangkan bias, seperti penggunaan kelompok perbandingan (control group), di mana satu grup menerima perawatan standar dan satu lagi menerima perawatan eksperimental. Peserta dipilih secara acak untuk mencegah bias.

Metode lain yang dipakai adalah masking atau blinding, di mana pasien (dan kadang peneliti) tidak tahu intervensi mana yang mereka terima, kecuali dalam situasi darurat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *