Configuration management, atau manajemen konfigurasi, adalah proses tata kelola dan rekayasa sistem yang digunakan untuk melacak dan mengontrol sumber daya IT, layanan, dan aplikasi di seluruh perusahaan. Ketika diterapkan dengan benar, configuration management memastikan bahwa organisasi tahu teknologi apa saja yang dimiliki, bagaimana konfigurasi dari aset teknologi tersebut, dan bagaimana keterkaitan antara item satu dengan yang lain.

Proses CM bertujuan untuk mengidentifikasi dan melacak setiap configuration item (CI), serta mendokumentasikan kapabilitas fungsional dan ketergantungannya. Alat CM membantu bisnis dalam menerapkan kondisi konfigurasi yang diinginkan untuk setiap item, serta memberikan peringatan secara tepat waktu jika ada masalah atau perubahan konfigurasi—baik yang diotorisasi maupun tidak.

Organisasi mengandalkan configuration management karena hal ini memungkinkan administrator dan pengembang perangkat lunak untuk memahami bagaimana suatu perubahan pada satu CI akan mempengaruhi item lainnya. Bagi para pemimpin bisnis, configuration management merupakan alat penting dalam tata kelola bisnis, keamanan, dan upaya kepatuhan.

Configuration management biasanya diterapkan dalam bentuk perangkat lunak, tapi ini adalah pendekatan menyeluruh dalam rekayasa sistem dan tata kelola, yang juga bisa dikodifikasi dalam kerangka kerja standar sebagai proses manajemen konfigurasi. Misalnya, framework ITIL v3 mencakup pembahasan mendalam tentang pengelolaan aset layanan dan konfigurasi.

Peran dan penggunaan configuration management telah berkembang seiring waktu. Proses ini sudah melampaui pengelolaan sistem komputer fisik, storage, dan perangkat jaringan di lingkungan enterprise, hingga mencakup praktik modern seperti infrastruktur berbasis perangkat lunak, infrastructure as code (IaC), manajemen konfigurasi perangkat lunak, dan praktik DevOps.

Mengapa configuration management itu penting?

Konfigurasi IT adalah konsep luas yang mencakup tiga lapisan utama:

  1. Apa saja sumber daya, layanan, dan aplikasi IT yang tersedia?
  2. Bagaimana elemen-elemen tersebut diterapkan dan dikonfigurasi?
  3. Bagaimana elemen-elemen tersebut saling terhubung atau berinteroperasi?

Ambil contoh sederhana. Sebuah data center bisa memiliki banyak server yang masing-masing menyediakan resource komputasi, storage, dan jaringan fisik. Resource ini dipersiapkan untuk menyediakan lingkungan operasi yang jelas bagi layanan dan aplikasi seperti firewall jaringan, sistem operasi, portal web, situs web, database, API, program CRM dan ERP, serta berbagai platform bisnis lainnya. Setiap platform bisnis yang dijalankan dalam lingkungan tersebut harus dikonfigurasi agar menggunakan jalur tertentu, volume penyimpanan, VM atau container, serta segmen jaringan tertentu. Sebagian besar platform saling berinteraksi, misalnya antara CRM dan database, dan setiap ketergantungan harus dikonfigurasi dengan cermat agar semuanya bisa bekerja sama dengan lancar.

Semua detail tentang provisioning, pengaturan, dan ketergantungan inilah yang disebut sebagai konfigurasi, dan sebuah organisasi bisa memiliki berbagai konfigurasi tergantung pada ukuran dan kebutuhan IT-nya.

Konfigurasi itu penting karena menciptakan lingkungan yang sudah terbukti aman dan stabil. Sebuah bisnis tahu bahwa jika suatu lingkungan dikonfigurasi dengan cara tertentu, maka elemen-elemen di dalamnya akan memberikan performa, stabilitas, dan keamanan yang diharapkan. Kalau konfigurasi berubah dari standar yang ditetapkan, maka perilaku lingkungan dan komponennya juga bisa ikut berubah. Ini bisa memicu kerentanan keamanan, penurunan performa, gangguan, bahkan downtime di lingkungan produksi.

Makanya, praktik configuration management digunakan untuk memantau lingkungan IT terhadap konfigurasi dasar (baseline) yang telah ditentukan. Proses configuration control akan melaporkan dan memperingatkan admin jika ada perubahan konfigurasi, bahkan bisa mencegah perubahan jika tidak diotorisasi. Setiap perubahan akan dicatat, menciptakan jejak audit yang memuat informasi apa yang diubah, kapan, dan oleh siapa. Peringatan dan laporan secara real-time bisa mengidentifikasi perubahan spesifik, sehingga admin atau sistem otomatis bisa langsung memperbaikinya dan mengembalikan konfigurasi seperti semula—ini sangat menyederhanakan proses troubleshooting.

Configuration management tidak mencegah perubahan konfigurasi yang memang direncanakan dan diotorisasi. Perubahan seperti itu biasanya dilakukan lewat proses change management yang sudah terdefinisi dengan baik, mencakup pengujian, validasi, tinjauan, dan dokumentasi perubahan—dan kalau sukses, bisa dijadikan baseline konfigurasi yang baru.

Bagaimana cara kerja configuration management?

Agar sistem configuration management bisa berjalan, ia butuh media untuk menyimpan informasi yang dikelolanya. Awalnya, media ini disebut configuration management database (CMDB); dalam ITIL v3 diperkenalkan konsep configuration management system (CMS) untuk menggantikan CMDB. CMDB mempromosikan konsep repositori tunggal dan monolitik, sementara CMS adalah sistem konseptual yang terdiri dari beberapa CMDB yang saling bekerja sama untuk mendukung kebutuhan proses tata kelola ini. Keduanya jelas punya kelebihan dibanding spreadsheet atau file teks statis yang butuh banyak perawatan manual dan tidak bisa diintegrasikan ke alur kerja serta praktik terbaik.

Setiap alat manajemen layanan biasanya dipasang bersama repositori data pendukung. Tanpa proses configuration management yang memvalidasi isinya, repositori ini hanya akan jadi database operasional biasa berisi data yang belum terverifikasi—bukan CMDB atau CMS. Komponen audit konfigurasi otomatis memungkinkan repositori menjadi sumber aset yang sah (golden source). Audit manual juga tetap bisa dilakukan.

Proses CM dan repositorinya—baik CMDB atau CMS—akan menghadapi tantangan berupa tumpang tindih dan konflik data dari berbagai sumber di perusahaan. Maka dari itu, rencana configuration management harus mencakup cara untuk menggabungkan dan menyelaraskan CI agar bisa menjadi satu titik referensi utama atau sumber kebenaran tunggal (single source of truth).

Seiring bertambahnya informasi konfigurasi dalam CMDB, akan semakin mungkin untuk memprediksi efek dari perubahan konfigurasi, yang merupakan bagian penting dalam manajemen perubahan. Misalnya, dengan melacak ketergantungan, admin bisa menentukan dampak dari gangguan perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, atau sistem lainnya terhadap sistem atau sumber daya lain. Ini memungkinkan prediksi masalah sebelum perubahan dilakukan dan juga memudahkan troubleshooting jika terjadi masalah setelah perubahan dilakukan.

Bahkan ketika konfigurasi sudah terdokumentasi dengan baik dan ditegakkan secara ketat, configuration management tetap harus memperhitungkan kenyataan bahwa perubahan periodik itu pasti terjadi—seperti upgrade software dan penyegaran hardware. Bisa juga terjadi perubahan arsitektur untuk memperketat keamanan atau meningkatkan performa. Hal ini menjadikan permintaan perubahan dan proses manajemen perubahan yang komprehensif sebagai bagian penting dari praktik CM. Contohnya bisa sesederhana membuka port tertentu di firewall untuk fitur baru aplikasi, atau memindahkan satu atau lebih server yang sibuk ke lokasi berbeda agar performa aplikasi lain di subnet tetap optimal.

Sejarah manajemen konfigurasi

Dalam arti paling luas, manajemen konfigurasi (configuration management/CM) punya akar sejak tahun 1960-an, ketika Departemen Pertahanan AS menetapkan standar militer untuk perangkat keras dan manajemen konfigurasi secara umum. Standar-standar ini kemudian berkembang dan dikonsolidasikan menjadi ANSI/EIA-649-1998.

Model dasar CM ini lalu diadaptasi dan diterapkan ke berbagai disiplin teknis, seperti rekayasa sistem (systems engineering), manajemen siklus hidup produk (product lifecycle management), dan manajemen siklus hidup aplikasi (application lifecycle management). Standar-standar baru juga ikut mengadopsinya, termasuk ISO 9000, COBIT, dan Capability Maturity Model Integration (CMMI). Framework ITIL yang muncul pada tahun 1980-an memperkenalkan prinsip dan praktik bagi perusahaan untuk memilih, merencanakan, menyampaikan, dan memelihara layanan TI. Ini memungkinkan fungsi TI dilihat sebagai layanan bisnis, bukan sekadar pusat biaya — konsep yang masih relevan hingga sekarang. Versi terbaru ITIL v4 bahkan menempatkan manajemen konfigurasi sebagai bagian sentral dari framework-nya.

Para pemimpin TI dan bisnis dengan cepat mengadopsi CM seiring dengan ledakan komputasi enterprise pada tahun 1970-an dan 1980-an. Operator pusat data mulai sadar bahwa praktik standar sangat penting agar server dan sistem dalam lingkungan produksi bisa berfungsi dengan baik. CM dalam TI pun makin dikembangkan dengan kegiatan-kegiatan khusus seperti kontrol perubahan (change control) atau manajemen perubahan (change management), supaya setiap perubahan bisa terdokumentasi dan tervalidasi.

Peralihan besar dari mainframe ke komputasi berbasis server di awal 1990-an bikin jumlah perangkat keras dan perangkat lain di pusat data meningkat drastis. Mainframe terpusat digantikan oleh rak-rak berisi server individual, subsistem penyimpanan, perangkat jaringan, dan peralatan lainnya, plus sistem endpoint seperti PC desktop yang fiturnya lengkap.

Praktik manajemen konfigurasi terus berevolusi dan kini mencakup sumber daya serta layanan jarak jauh. Misalnya, pengguna cloud menggunakan praktik dan alat ini untuk memantau sumber daya, layanan, dan beban kerja (workload) yang mereka gunakan di cloud publik.

Selain itu, manajemen konfigurasi kini juga merambah ke dunia pengembangan perangkat lunak. Ini membantu developer untuk melacak komponen perangkat lunak, library, versi build, dan elemen software lainnya yang digunakan dalam pengembangan Agile atau continuous development. Hal ini nyambung banget dengan praktik DevOps, continuous integration/continuous delivery (CI/CD), serta konsep seperti Infrastructure as Code (IaC) dan infrastruktur yang didefinisikan dengan perangkat lunak (software-defined infrastructure).

Dengan berkembangnya machine learning dan AI, manajemen konfigurasi bakal makin otomatis. Artinya, CM bisa berjalan lebih mandiri dan bahkan mampu melakukan perubahan konfigurasi secara dinamis dengan sedikit atau tanpa intervensi manusia.

Manfaat utama manajemen konfigurasi

Sejak pertama kali diterapkan di dunia TI, manajemen konfigurasi punya empat tujuan utama:

  1. Konsistensi.
  2. Keamanan.
  3. Penyampaian layanan.
  4. Kepatuhan atau kelangsungan bisnis.

Yuk kita bahas satu per satu manfaat ini.

Konsistensi. Bayangin pusat data tradisional yang berisi puluhan atau bahkan ratusan server fisik, switch jaringan, dan perangkat penyimpanan. Penting banget buat tim TI dan pemimpin bisnis untuk tahu secara pasti perangkat apa aja yang ada di sana dan pastikan semuanya dikonfigurasi dengan cara yang diketahui dan disetujui. Kadang mereka bahkan bikin sistem buat memaksa konfigurasi tertentu supaya tetap konsisten. Dengan begitu, manajemen konfigurasi bantu menjaga kestabilan lingkungan TI. Kalau ada perangkat yang rusak dan harus diganti, konfigurasi yang udah ditetapkan bisa dijadikan baseline untuk perangkat pengganti. Bahkan kalau teknologi baru mengharuskan perubahan konfigurasi, versi terbaru yang udah terbukti bisa jadi baseline baru. Konfigurasi ini juga biasanya didokumentasikan mirip kayak version control di software, jadi kalau ada kesalahan akibat perubahan, kita bisa rollback ke konfigurasi sebelumnya yang udah terbukti aman.

Keamanan. Pusat data udah lama ngandalin konfigurasi hardware dan software untuk menjaga keamanan. Konfigurasi bisa ngaruh ke keamanan dalam banyak cara: butuh kredensial buat login, API harus diautentikasi, password harus diganti secara berkala, port firewall buka-tutup buat hadang traffic mencurigakan, dan subnet jaringan harus ditata rapi. Nah, dokumentasi dan konsistensi dari manajemen konfigurasi bantu menjaga dan mempertahankan keamanan ini.

Penyampaian layanan. Konsistensi juga penting banget buat kualitas dan penyampaian layanan. Manajemen konfigurasi jadi elemen utama di sini. Layanan TI harus dipastikan berjalan dalam kondisi yang valid dan bisa diandalkan. Framework IT service management (ITSM) kayak ITIL bahkan menjelaskan proses, orang, dan produk yang terlibat dalam penyampaian layanan. Admin TI pakai manajemen konfigurasi dan ITSM buat memastikan proses berjalan sesuai aturan dan mencegah pendekatan yang nggak sesuai. Tujuannya, layanan TI yang diberikan harus tersedia, andal, dan aman.

Kepatuhan. Terakhir, manajemen konfigurasi berperan penting dalam tata kelola bisnis, kelangsungan operasional, dan kepatuhan terhadap regulasi. Kepatuhan artinya mematuhi pedoman, spesifikasi, atau tindakan yang ditetapkan oleh otoritas tertentu, baik itu badan standar seperti ANSI atau ISO, organisasi industri, atau pemerintah. Manajemen konfigurasi mungkin nggak langsung menunjukkan bahwa organisasi udah patuh, tapi keberadaan sistem CM yang bisa menemukan, menjaga, menegakkan, dan mengaudit konfigurasi bisa bantu mendukung upaya kepatuhan. Begitu juga dalam troubleshooting atau pemulihan dari bencana, keberadaan sistem CM bisa bikin bisnis tetap berjalan normal.

Walaupun alat-alat CM sekarang makin canggih dan praktik terbaik makin luas cakupannya, keempat tujuan utama tadi tetap relevan sampai sekarang.

Ada juga beberapa manfaat tambahan dari manajemen konfigurasi, misalnya:

  • Hemat biaya. CM bisa mencegah kesalahan dan mengurangi waktu serta biaya untuk troubleshooting. Mencegah masalah biasanya lebih murah daripada memperbaikinya setelah terjadi.
  • Dokumentasi. CM tradisional dulunya butuh banyak kerja manual buat ngumpulin data dan nyusun info konfigurasi ke dalam spreadsheet. Tapi sekarang, dengan alat CM yang canggih, organisasi bisa otomatis mendeteksi informasi konfigurasi, bikin laporan detail, dan memastikan semuanya up-to-date serta sesuai aturan.
  • Mengurangi ketergantungan pada staf tertentu. Dengan info konfigurasi yang lengkap dan terdokumentasi dengan baik, kita nggak perlu lagi tergantung sama pengetahuan staf tertentu. Admin mana pun bisa langsung tahu konfigurasi terkini tanpa harus tanya-tanya siapa yang tahu apa.

Risiko dari manajemen konfigurasi

Meskipun manfaat dari manajemen konfigurasi (configuration management/CM) cukup menggoda, teknologi ini bukan tanpa kekurangan. Platform dan praktik CM punya tantangan tersendiri, mulai dari proses adopsi dan integrasi.
Proses CM tradisional mengharuskan organisasi untuk mengidentifikasi setiap elemen dalam lingkungan TI, memahami detail konfigurasi spesifiknya, memasukkan detail tersebut secara akurat ke dalam platform dokumentasi, lalu mengelola data tersebut. Menentukan data konfigurasi apa saja yang perlu dikumpulkan dan bagaimana mengelolanya seiring waktu—terutama ketika terjadi perubahan perangkat keras dan perangkat lunak—jadi beban tambahan bagi staf TI.

Platform CM zaman dulu nggak jauh beda dengan spreadsheet yang butuh banyak kerja manual untuk diisi dan dikelola. Seiring waktu, platform CM makin canggih dengan fitur discovery dan otomatisasi yang membantu organisasi mengisi informasi konfigurasi dan dependensi tiap elemen. Tapi prinsipnya, “TI nggak bisa ngatur apa yang nggak kelihatan.” Kalau ada elemen yang nggak bisa terdeteksi oleh alat CM tertentu, organisasi terpaksa pakai alat tambahan, spreadsheet, atau dokumentasi manual lainnya. Ini bikin data di CMDB terpecah-pecah dan berisiko menimbulkan kesalahan serta kelalaian dalam manajemen konfigurasi. Meski alat CM modern punya fitur discovery dan otomatisasi, bukan berarti semua elemen pasti terwakili dengan sempurna.

Manajemen konfigurasi yang efektif harus bersifat total. Kalau ada perangkat keras atau lunak yang terlewat, pandangan tim TI soal lingkungan TI jadi terbatas. Misalnya, satu desktop yang ketinggalan patch OS bisa jadi celah keamanan besar buat seluruh bisnis.

Masalah lain adalah soal integritas, perlindungan, dan berbagi data. Konfigurasi infrastruktur TI perusahaan mencakup informasi sensitif, kayak alamat IP server. Informasi ini harus tetap aman, tapi juga tetap bisa diakses stakeholder lain seperti petugas audit kepatuhan. Menentukan siapa saja yang bisa akses dan mengubah data CM itu bukan hal sepele.

Perkembangan teknologi data center juga menambah tantangan dalam CM. Contohnya pipeline Infrastructure as Code (IaC), di mana sumber daya data center divirtualisasi dan dikelola sebagai VM, container, instance cloud, dan komponen virtual lainnya. Manajemen konfigurasi jadi makin penting di lingkungan virtual ini, tapi kesalahan dalam mendefinisikan konfigurasi virtual bisa memunculkan risiko keamanan baru dan pemborosan sumber daya—alias sprawl.

Jadi, inisiatif CM perlu pendekatan serius yang melibatkan pengujian, audit, dan validasi ketat. Tujuannya supaya alat CM bisa mendeteksi semua elemen dengan akurat, menghasilkan dokumentasi dan laporan yang berguna, menjaga keamanan data, dan tetap adaptif terhadap perubahan konfigurasi dari waktu ke waktu.

Apa risiko jika tidak pakai manajemen konfigurasi?

Kalau perusahaan mengabaikan manfaat dari konsistensi, keamanan, layanan, dan dukungan kepatuhan yang ditawarkan CM, maka risiko besar akan mengintai.
Bayangin aja lingkungan TI tanpa manajemen konfigurasi. Ini bukan hal langka, lho. Sebuah data center bisa aja jalanin workload, tapi admin TI dan pimpinan bisnis nggak punya satu sumber informasi yang pasti soal perangkat keras dan lunak yang dipakai. Beberapa staf mungkin tahu sebagian setup-nya, tapi mereka harus cek satu-satu buat tahu konfigurasi aktual—dan nggak ada metode standar buat tahu konfigurasi sebelumnya, sekarang, atau seharusnya:

  • Tanpa daftar lengkap dan jelas soal perangkat keras dan lunak, TI nggak bisa yakin apa aja yang sedang aktif di lingkungan mereka.
  • Semua harus dilakukan secara manual—mulai dari identifikasi sampai pengelolaan konfigurasi—yang mustahil dilakukan secara efektif di lingkungan TI modern.
  • Tanpa standar dokumentasi konfigurasi, organisasi nggak bisa jamin keamanan, performa layanan, atau kepatuhan tanpa audit manual yang makan waktu dan rawan kesalahan.
  • Pengetahuan yang hanya dimiliki staf berpengalaman bisa hilang seiring mereka pensiun, pindah kerja, atau lupa detail penting setelah waktu lama.

Manajemen perubahan dan aset

Pembahasan tentang manajemen konfigurasi biasanya juga menyentuh manajemen perubahan (change management) dan manajemen aset (asset management). Ketiganya saling melengkapi, tapi tetap penting buat ngerti bedanya.
Manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses yang mengatur pendekatan organisasi terhadap perubahan. Ini berlaku untuk perubahan target bisnis, workflow, dan adaptasi karyawan terhadap perubahan di lingkungan kerja. Di sisi TI, change management bantu menata pendekatan terhadap perubahan di data center atau sistem komputasi perusahaan. Termasuk juga protokol permintaan perubahan, pengadaan, setup/konfigurasi, pengujian, hingga troubleshooting. Perusahaan juga perlu mengatur proses approval dan validasi perubahan.

Contohnya, bayangkan ada workload yang jalan di server. Update aplikasi nggak bisa sembarangan diterapkan karena bisa timbul perubahan konfigurasi yang berdampak ke lingkungan produksi. Manajemen perubahan adalah proses di mana versi baru dipilih, diuji, disetujui, diterapkan, dikonfigurasi, divalidasi, dan dimonitor terus. Perubahan ini harus dicatat di CMS, meskipun automation modern biasanya bantu proses discovery, evaluasi, update, dan pelaporan. Change management juga bisa mencakup pelatihan atau panduan buat pengguna agar proses transisi berjalan mulus.

Jadi, meskipun berbeda dari manajemen konfigurasi, pengelolaan perubahan yang baik adalah bagian penting dari CM. Tingkat detail dan formalitasnya bisa bervariasi tergantung ukuran dan jenis organisasi; bisnis besar dan teregulasi cenderung pakai proses change management yang lebih ketat.

Manajemen aset. Manajemen aset TI juga pakai data buat identifikasi perangkat keras, perangkat lunak, dan aset berwujud lainnya di bisnis. Fokus utamanya lebih ke aspek bisnis dan akuntansi, seperti biaya dan lisensi perangkat.

Contohnya, asset management tahu keberadaan server, storage, perangkat jaringan, endpoint, dan aset TI lain di perusahaan. Tapi yang mereka perhatikan lebih ke aspek biaya, lisensi, kontrak pemeliharaan, lokasi fisik, dan siklus pengadaan hingga pembuangan. Sementara itu, configuration management cuma fokus pada aset selama masih aktif digunakan.

Contoh lain, server yang dibeli untuk tugas tertentu akan masuk dalam daftar asset management. Tapi saat server itu diganti fungsi, konfigurasi baru akan dicatat ulang dalam configuration management. Secara aset, statusnya tetap sama.

Tools untuk Configuration Management

Ada banyak banget tools yang tersedia buat menangani tugas-tugas CM. Beberapa tugas penting dalam CM antara lain:

  • Discovery. Tool CM bakal mendeteksi perangkat keras dan perangkat lunak yang ada dalam cakupan manajemen, misalnya di data center. Tool ini ngumpulin info penting tentang CI (configuration item) dan nyimpennya dalam database.
  • Configuration states. Tool CM bikin dan ngejaga konfigurasi ideal buat hardware atau software tertentu. Biasanya ini dilakukan pakai kebijakan dan otomatisasi. Kalau ada penyimpangan dari konfigurasi ideal (baseline), sistem bakal ngasih notifikasi dan log supaya admin bisa investigasi dan memperbaikinya.
  • Version control. Tool CM ngejamin bahwa versi atau komponen software tertentu yang dipakai emang sesuai. Dalam pengembangan software, version control ini memastikan setiap build tersusun dari komponen yang tepat — beda versi bisa pakai komponen yang beda juga.
  • Change control. Tool CM ngatur konfigurasi dan bikin proses buat koordinasi, otorisasi, dokumentasi, pencatatan, dan pelaporan perubahan yang sah. Kadang tool-nya juga bisa ngasih peringatan tentang potensi konflik sebelum perubahan dilakuin, jadi admin bisa antisipasi masalah duluan.
  • Auditing. Tool CM bakal nge-scan lingkungan IT, validasi konfigurasi yang aktif, identifikasi dependensi, dan pastiin semuanya sesuai ekspektasi. Fitur ini penting buat tata kelola bisnis dan kepatuhan terhadap regulasi.

Karena tools CM beda-beda, milih tool yang tepat itu penting banget. Beberapa fitur dan hal yang perlu dipertimbangkan antara lain:

  • Fleksibilitas. Tool-nya harus gampang digunakan, bisa diperluas, dan gampang diintegrasiin sama tools lain (misalnya tool manajemen sistem atau help desk). Tool yang fleksibel bisa lebih banyak menjangkau daripada yang kaku. Idealnya sih cukup satu tool CM aja. Kalau lebih dari satu malah rawan kesalahan dan oversight.
  • Laporan yang komprehensif. Logging dan pelaporan aktivitas bikin admin dan auditor bisa lihat gambaran lengkap soal lingkungan dan perubahan yang terjadi — termasuk siapa yang ngelakuin, kapan, dan apa aja yang diubah.
  • Kolaborasi dan komunikasi. Tool-nya harus bisa nyatuin CM dengan fungsi manajemen lain, jadi admin bisa tahu soal permintaan perubahan, percobaan perubahan, dan perubahan yang udah jadi — apalagi kalau nyangkut soal keamanan atau kepatuhan.
  • Skalabilitas dan extensibility. Tool sederhana mungkin cukup buat UKM. Tapi organisasi besar butuh tools yang lebih canggih dan bisa dukung lingkungan kompleks serta integrasi ke berbagai tools bisnis.
  • Dukungan cloud. Cakupan manajemen CM makin luas. Lingkungan bisa homogen atau heterogen. Data center utama sekarang sering dilengkapin sama data center sekunder, kolokasi, penyedia SaaS, private cloud, dan public cloud. Tools harus bisa kerja lintas semua lingkungan ini.
  • Biaya. Tools CM bisa mahal, tapi biasanya sebanding sama risiko yang bisa dihindari.

Tools CM yang populer punya cakupan dan tujuan yang beda-beda. Beberapa tools umum seperti SolarWinds Server Configuration Monitor, CFEngine, Puppet, Chef Infra, Ansible, Juju, Octopus Deploy, dan Rudder bisa nangani hardware data center dan SCM dengan otomatisasi tertentu. Buat pengguna cloud, ada layanan dari penyedia seperti AWS Config dan AWS OpsWorks. Tapi, industri ini sedang mengalami konsolidasi vendor, jadi ketersediaan produk dan roadmap bisa berubah-ubah.

Developer software juga sering pakai tools ini buat tugas SCM, tapi mereka juga pakai tools lain kayak Atlassian Bamboo buat continuous delivery dan manajemen rilis; JetBrains TeamCity, Jenkins, Vagrant, dan Apache Maven buat konfigurasi dan integrasi berkelanjutan; Git, Bazaar, Apache Subversion, dan Mercurial buat manajemen kode sumber; Wiki sederhana buat dokumentasi; serta JFrog Artifactory, Cloudsmith, MyGet, Yarn, Sonatype Nexus, dan Apache Archiva buat repositori artefak dalam version control.

Proses Configuration Management

Configuration management itu elemen penting dalam organisasi IT mana pun, tapi memulainya bisa cukup menantang. Butuh perencanaan matang dan usaha berkelanjutan buat bisa menerapkannya di level enterprise. Langkah-langkahnya bisa beda-beda, tapi biasanya mencakup enam fase ini:

  1. Pilih tool CM yang sesuai. Ini biasanya langkah paling sulit karena pemilihan tool adalah investasi besar dan bakal susah diganti setelah diterapkan. Pahami kebutuhan CM bisnis, termasuk nuansa lingkungan lokal dan cloud. Pilih tool yang bisa menangani semua lingkungan tersebut, fleksibel, bisa diskalakan, dan mendukung otomatisasi serta pelaporan detail. Uji beberapa kandidat dalam proyek kecil, dan putuskan berdasarkan feedback dari tim. Pilihannya sebaiknya melibatkan tim ops, DevOps, legal, dan pimpinan bisnis.
  2. Bangun baseline. Di fase discovery, tool CM akan menjelajah lingkungan IT, cari tahu hardware, software, layanan, dan komponen lainnya. Dari sini didapat baseline: kondisi awal dari semua elemen dan konfigurasinya. Ini jadi pondasi buat pengelolaan perubahan ke depannya. Tool harus bisa melihat seluruh lingkungan, termasuk yang fisik, virtual, bahkan cloud. Tapi biasanya tool nggak bisa lihat semuanya, jadi staf IT harus bantu melengkapinya. Proses ini bisa makan waktu dan butuh pengetahuan internal tim.
  3. Bikin proses atau workflow CM. Tentukan langkah-langkah untuk dukung manajemen konfigurasi dan perubahan, termasuk siapa aja yang terlibat. Tool CM harus dipilih, diterapkan, dan dirawat. Harus ada sistem rutin untuk discovery, pencatatan, auditing, dan pelaporan. Otomatisasi dan orkestrasi itu penting, tapi jangan dianggap sebagai solusi mutlak — tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan bisnis.
  4. Pelihara baseline tersebut. Setelah baseline ditetapkan, harus dijaga dengan aktif. Tool biasanya bakal deteksi, log, dan laporkan perubahan — semua ini harus disetujui, divalidasi, dan didokumentasikan. Perubahan harus sesuai dengan kebijakan biar nggak terjadi hal yang asal-asalan. Tool dengan fitur enforcement bisa mencegah perubahan sampai mendapat persetujuan. Kalau perubahan terjadi, harus dicatat dengan detail supaya database tetap up to date. Banyak inisiatif CM gagal karena baseline melenceng tanpa kontrol yang cukup.
  5. Lakukan audit database. Walaupun sudah ada perawatan aktif dan kebijakan lengkap, lingkungan dan tool tetap harus diaudit secara berkala. Tujuannya buat validasi konfigurasi dan pastiin lingkungan saat ini masih sesuai baseline. Kalau ada perbedaan, harus dicari tahu penyebabnya dan diperbaiki. Misalnya kalau server nggak terdeteksi, bisa jadi butuh update CM agent. Audit ini juga penting buat tata kelola bisnis dan kepatuhan regulasi.
  6. Uji apakah tool berfungsi sebagaimana mestinya. Terakhir, pastikan tool CM benar-benar digunakan secara produktif. Misalnya, minta tool buat install patch OS ke sebagian lingkungan. Validasi hasilnya sesuai SOP. Harus ada juga opsi rollback kalau terjadi kesalahan. Pastikan laporan dan update di CMDB jalan sebagaimana mestinya.

CM sangat bergantung pada kebijakan, proses, dan otomatisasi — dan ketiganya harus menyatu dalam platform CM. Tapi ini bukan langkah sekali jalan. Seperti konfigurasi yang harus ditinjau rutin, kebijakan, proses, dan otomatisasinya juga harus direview dan diupdate secara berkala biar tetap sejalan dengan tujuan bisnis dan IT.

Masa Depan Configuration Management

Pendorong utama buat model CM di masa depan ada di lingkungan yang berbasis software. Makin banyak lingkungan IT enterprise yang pakai virtualisasi, otomatisasi, dan manajemen untuk provisioning, deployment, dan manajemen sumber daya lewat software. Dengan teknologi data center seperti *software-defined storage*, *software-defined networking*, SDDC, dan *Infrastructure as Code* (IaC), tools dan praktik CM ke depan harus bisa mengenali dan berinteraksi dengan lingkungan virtual dan fleksibel kayak gini.
Contohnya, di IaC (atau dikenal juga sebagai configuration as code), resource biasanya udah virtual, dikumpulin dalam pool, dan dikonfigurasi otomatis lewat instruksi. CM harus bisa deteksi deployment baru, masukin instance itu ke pelaporan dan pengawasan manajemen perubahan. Jadi tools CM harus bisa nambah, hapus, dan kelola instance secara ad hoc.

Teknologi lain yang juga patut diperhatikan adalah GitOps, yang memungkinkan tim data center buat deploy container cluster pakai sistem version control seperti Git. Ini ngegabungin container, prinsip software development, dan kemampuan SDDC supaya container bisa dideploy dengan komponen software yang tepat di lingkungan yang sesuai.

Tools CM ke depan juga harus bisa menangani aspek software-driven di lingkungan yang sifatnya ephemeral, di mana container mungkin cuma hidup beberapa menit atau detik. Jadi, tools orchestration container bakal makin penting dalam CM.

Adopsi cloud makin luas, jadi tools dan praktik CM juga harus adaptif — mampu kasih kontrol dan pengawasan lebih di cloud, serta dukung lingkungan hybrid maupun multi-cloud, sekaligus tetap bisa handle data center fisik.

Terakhir, kita bakal lihat pemanfaatan machine learning dan AI yang lebih luas dalam CM. Tujuannya buat tingkatkan otomatisasi, prediksi dampak perubahan, dan kasih respons dinamis secara real-time terhadap perubahan yang terjadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *