Apa itu Electronic Discovery (e-discovery)?

Electronic discovery atau yang sering disingkat *e-discovery* atau *ediscovery* adalah proses pengumpulan dan pertukaran bukti digital dalam sebuah kasus hukum atau investigasi. Proses ini biasanya dilakukan di tahap awal litigasi, ketika pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk menyediakan bukti dan dokumen elektronik yang relevan dengan kasus tersebut. Data yang dikumpulkan bisa berupa informasi digital yang dicari, diamankan, dan dianalisis dengan tujuan untuk digunakan sebagai bukti di pengadilan.
E-discovery bisa dilakukan secara lokal di komputer tertentu, atau bisa juga dilakukan lewat jaringan. Data yang dikumpulkan bisa meliputi berbagai jenis informasi digital seperti email, pesan teks, hingga postingan media sosial.

Data digital sangat cocok untuk keperluan investigasi karena bisa dicari secara elektronik (berbeda dengan dokumen fisik yang harus dicek manual). Selain itu, data digital menyimpan metadata seperti cap waktu, properti file, serta informasi pembuat dan penerima file. Data ini juga sulit untuk dihancurkan sepenuhnya, apalagi jika sudah tersebar di jaringan dan disimpan di banyak hard drive. Cara paling efektif untuk benar-benar menghapus file adalah dengan menghancurkan seluruh hard drive tempat file tersebut pernah tersimpan.

Jenis Data Elektronik yang Dikumpulkan

Dalam proses e-discovery, hampir semua jenis data elektronik bisa dijadikan bukti. Contohnya seperti dokumen teks, gambar, audio, video, kalender digital, pesan instan, data dari ponsel, database, spreadsheet, animasi, situs web, dan bahkan program komputer. Email sering jadi sumber bukti yang sangat berguna karena orang biasanya cenderung lebih “santai” dalam email dibanding surat resmi atau memo tertulis.

Kegunaan E-Discovery

E-discovery umum digunakan dalam proses hukum sipil, seperti di sistem pengadilan federal Amerika Serikat. Tapi banyak juga sistem hukum di negara lain yang punya aturan sendiri soal e-discovery. Misalnya, di Inggris, e-discovery masuk dalam prosedur sipil dengan langkah-langkah yang sudah disepakati bersama.
Sebelum ada e-discovery, proses tukar-menukar dokumen antar pihak hukum dilakukan lewat dokumen fisik. Sekarang, proses ini sudah diperluas dengan menyertakan data digital atau ESI (Electronically Stored Information). Tim hukum dari kedua pihak akan mengidentifikasi dan menyimpan ESI yang relevan, lalu saling mengajukan permintaan dan tantangan terhadap bukti digital tersebut sepanjang proses litigasi.

Bagaimana Proses E-Discovery Bekerja?

Proses e-discovery dimulai saat kemungkinan terjadinya gugatan mulai muncul, hingga bukti digital dipresentasikan di pengadilan. Tim hukum dari kedua pihak akan menentukan ruang lingkup e-discovery. Berikut langkah-langkah umum dalam proses ini:

  1. Identifikasi: Pengacara akan mengidentifikasi ESI yang relevan dan mulai mengajukan permintaan atau penolakan e-discovery.
  2. Pelestarian (Preservation): Data yang dianggap penting akan dikenai legal hold agar tidak bisa dihapus. Jika data hilang dan merugikan salah satu pihak, bisa berujung pada sanksi hukum.
  3. Koleksi: Data dikumpulkan dari perusahaan ke penasihat hukum untuk ditinjau relevansinya.
  4. Pemrosesan: Data dimuat ke platform peninjauan, biasanya dikonversi ke PDF (Portable Document Format) atau TIFF untuk keperluan pengadilan.
  5. Peninjauan (Review): Dokumen ditinjau untuk melihat apakah sesuai dengan permintaan bukti dan apakah mengandung informasi yang dilindungi hukum (privileged).
  6. Produksi: Dokumen dibagikan ke pengacara lawan.

Isu Hukum dalam E-Discovery

E-discovery bukan cuma soal teknologi, tapi juga menyangkut berbagai isu hukum, konstitusional, politik, keamanan, dan privasi data. Misalnya, tenggat waktu dalam proses ini cukup ketat, dan kegagalan untuk memenuhi deadline bisa berujung denda.
Pernah juga terjadi kasus kebocoran data akibat e-discovery. Contohnya di tahun 2017, pengacara dari Wells Fargo secara tidak sengaja mengirimkan data sensitif klien ke pihak lawan, termasuk nama nasabah, nomor jaminan sosial, dan informasi keuangan mereka.

Dua tantangan besar lain adalah jenis data baru yang terus bermunculan dan biaya yang terus meningkat. Semakin banyak dan kompleks datanya, makin besar biaya untuk penyimpanan, IT, dan manajemennya. Tahap review biasanya sangat mahal karena tiap dokumen harus diperiksa satu per satu. Tim legal internal (in-house counsel) biasanya ditekan untuk memangkas biaya, tapi kalau data tidak dikelola dengan benar, bisa berujung pada masalah hukum baru.

Tren Baru dalam E-Discovery

Salah satu perubahan yang mencolok adalah makin umumnya penggunaan video conference dan alat kolaborasi digital. Sejak pandemi COVID-19, banyak tim hukum melakukan review dokumen secara remote lewat Zoom atau Microsoft Teams. Virtual review seperti ini makin populer dan kemungkinan akan tetap dipakai di masa depan.
Tren lain adalah penggunaan technology-assisted review dan predictive coding, yaitu metode berbasis machine learning dan aturan tertentu untuk menilai relevansi, responsivitas, dan perlindungan hukum dari data digital.

Perbedaan E-Discovery dan Digital Forensics

Computer forensics atau *cyber forensics* adalah bentuk khusus dari e-discovery yang fokus pada investigasi isi hard drive dari sebuah komputer. Komputer akan diisolasi secara fisik, dibuat salinan digitalnya, lalu versi asli disimpan dengan aman. Semua proses analisis dilakukan di salinan tersebut.
Meskipun mirip, ada perbedaan antara e-discovery dan forensik digital. E-discovery dilakukan oleh pengacara dan lebih fokus pada pengumpulan dan pengorganisasian data, sementara digital forensics dilakukan oleh pakar forensik yang menjaga integritas data dan bisa menganalisis niat dari pengguna.

Perangkat lunak yang digunakan juga berbeda. Firma e-discovery tidak menganalisis data ataupun memberikan opini hukum, tapi hanya mengumpulkan dan menyusun informasi untuk ditinjau lebih lanjut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *